Opini - Tak dapat di pungkiri pernyataan dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas telah mendapatkan tanggapan yang beragam dari kalangan masyarakat. Bahkan ada yang menilai Pak Yaqut telah melampaui batas kewajaran dalam mengeluarkan pernyataannya, berkait perbandingan antara suara azan dan suara anjing.
Saya sangat yakin. Pak Yaqut tidak bermaksud membandingkan suara azan dengan suara anjing. Itu hanya penjelasan bagi adanya suara yang ditengarahi mengganggu ketenangan seseorang. Tapi apapun alasan dari Pak Yaqut soal dirinya tidak bermaksud menyamakan suara azan dan suara anjing yang mengonggong akan mendapatkan “cibiran” dari sebagian orang. Bagi say aitu merupakan konsekuensi bagi publik figur.
Saya teringat dengan ungkapan narasumber beberapa tahun yang lalu di ILC TV ONE, yang di pimpin Karni Ilyas. Saat Ali Muchtar Ngabalin dan Rocky Gerung saling debat soal pilihan kata yang tepat agar tidak menimbulkan polemik dikalangan masyarakat. Sangat betul sekali. Pilihan kata (diksi) yang digunakan dalam sebuah ungkapan kalimat harus benar-benar dipertimbangkan agar tidak menuai tafsir yang beragam, terlebih tafsir yang mengarah kepada sesuatu yang kurang baik.
Teringat hal itu, maka siapapun orang yang memiliki jabatan strategis, public figure baik itu pejabat pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh-tokoh lainya sangat perlu dalam memilih kata baik dalam pembuatan tamstil dan sebuah diksi kata-katanya. Jika pilihan kata yang kurang tepat sudah terlanjut tersampaikan kepada masyarakat baik secara verbal maupun non verbal mesti akan mendapatkan reaksi.
Pada hakikatnya, pembatasan aturan penggunaan toa atau pengeras suara tidaklah berkonsekuensi pada ajaran Islam. Jika ada yang terganggu dengan aturan itu apalagi sampai merusak terhadap keyakinannya akan ajaran islam, ini merupakan masalah yang sangat serius.
Islam Jaya Tanpa Toa
Baca juga:
Pura-Pura Budayawan
|
Saya teringat dengan masa kecil saya di perkampungan Kepulauan Kangean, Sumenep Madura. Pada tahun 80 an, pengeras suara nyaris tidak ada. Kalaupun ada itu hanya satu dan paling banyak dua buah saja. Itu pun sangat sulit. Untuk menentukan waktu salat telah tiba orang tua di kampung saya cukup melihat matahari di atas langit, begitu seterusnya dalam menentukan waktu-waktu salat. Azan dan iqamah tanpa toa, namun hebatnya masyarakat banyak yang berbondong-bondong datang ke langger (musala) untuk melaksanakan salat berjamaah. Bahkan tadarus alqur’an pun tetap di gelar meskipun tanpa pengeras suara.Seiring dengan berkembangnya teknologi memakai pengeras suara pada sebuah event keagamaan menjadi kebutuhan. Anehnya lagi, ada oknum yang tidak ingin azan, membaca alqur’an, membaca sholawat, dan berdzikir kalau tidak memakai pengeras suara. Itulah konsekuensi zaman pula.
Suara azan, dzikir dan semaan alqur’an bukankah itu anjuran agama? Menyuruh salat, menghadiri masjid untuk salat berjamaah, bangun tidur untuk tahajjud itu semua bukankah perintah agama pula?. Mengajak sejenak agar berfikir tentang keharusan dan kewajiban agama bukankah sebuah keharusan. Jika suara azan sebagai pengganggu tidur dan pengganggu orang yang yang sedang beraktifitas yang lain, apakah hati kita berisik tentang hal itu.
Nabi mengajari umatnya untuk saling menasehati dalam urusan agama. Tentu dengan cara-cara yang dibenarkan sesuai dengan ajaran agama pula. Bagi saya, mengatur pengeras suara adalah suatu keabsahan agar lebih tertib dan membiarkan pengeras suara berbunyi nyaring untuk syiar agama juga perkara yang diperbolehkan, dengan catatan tidak mengangganggu kenyamanan orang dengan prilaku kewajaran pula.
Agama telah mengajarkan lebih baik menolak kemudaratan dan mendatangkan kemaslahatan. Jika suara toa dipandang mengganggu dan mendatangkan mafsadat, mengapa harus dilarang untuk ditertibkan, kalaulah mendatangkan kemaslahatan bukannya itu lebih baik dibiarkan. Tentu aturan lebih baik tidak bertabrakan dengan kepentingan agama, dan ajaran agama akan lebih baik jika disampaikan dengan sebuah kedamaaian.
Meski demikan, Islam jaya tanpa toa.
Oleh : Ponirin Mika
Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton, Probolinggo dan Anggota Community of Critical Social Reseach, Probolinggo.